Minggu, 11 Juli 2010

TAJDID, BUKAN TAGHRIB

TAJDID, BUKAN TAGHRIB

"Sesungguhnya Allah mengutus untuk umat ini pada setiap penghujung seratustahun, orang yang memperbarui agamanya". Dalam riwayat yang lain disebutkan "seorangyang memperbarui perkara ajaran agamanya".
Sunan Abu Dawud, Kitab al-Melahim, IV109
Tajdid {pembaruan) menurut arti bahasanya, adalah memberikan gambaran terkumpulnya tiga arti yang saling berkaitan. Pertama, sesuatu yang diperbaharui itu telah ada permulaannya dan dikenal oleh orang banyak. Kedua, sesuatu itu telah berlalu beberapa waktu, kemudian usang dan rusak. Ketiga, sesuatu itu telah dikembalikan kepada keadaan semula sebelum usang dan rusak.
 

Secara umum, tajdid dalam Islam dimaknai sebagai upaya menghidupkan kembali apa yang telah dilupakan/diting-galkan dari ajaran-ajaran agama dan memba ngkitkannya kembali demi untuk mereformasi kehidupan kaum muslimin secara umum ke arah yang lebih baik. Dalam hal ini makna tajdid bukanlah mengubah yang lama dan menghilangkan-nya dari yang aslinya; kemudian menggantikannya dengan sesuatu yang baru. Ini bukan makna tajdid yang sesungguhnya. Sebagian ulama mendefinisikan tajdid sebagai "menghidupkan kembali apa yang telah hilang dan terhapus dalam menerapkan kandungan Alquran dan Sunnah dan perkara yang wajib dikerjakannya. (Lihat, Al-Manawi, al-Fayd al-Qadir, 110). Sedangkan makna "yujaddidu laha dinaha", artinya menjelaskan dan membedakan antara sunnah dan bidah, memperbanyak ilmu dan mendukung ulamanya; memberantas ahli bidah. Hal itu tidak akan tercapai kecuali bagi seorang yang alim dalam bidang ilmu agama.
Jadi, makna tajdid dalam Islam bukanberarti membuat Islam yang baru, tetapi mengembalikan Islam kepada masa Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin; kepada sumber-sumbernya yang murni dengan mempertimbangkan kondisi zaman. Jelas, kata tajdid menunjukkan arti menghidupkan dan membangkitkan kembali sesuatu yang rusak dan usang. Bukan membuat-buat perkara baru yang tidak dikenal dalam Islam.
Tajdid versus bidah
Di antara difinisi ulama salaf tentang tajdid adalah "membedakan antara sunnah dan bidah, memperbanyak ilmu agama, serta memberantas bidah dengan memberantas pelakunya." (Aunu al-Mabud ala Sunan Abi Dawud, (1969.), Juz 11, Syarh Abi Tayyib Muhammad Syams al-Haq Azim Abadi, h.391). Sedangkan bidah adalah segala sesuatu yang diada-adakan tanpa berdasarkan agama. Ada pun yang berdasarkan Syara, maka tidak termasuk bidah.
Tidak mudah untuk masuk kategori seorang mujaddid. Bukan asal bicara atau menulis, lalu dibilang mujaddid. Al-Hasan al-Almi, dalam Kitab Tajdid al-Fikr al-islami, menyebutkan tiga syarat Mujaddid (1) Harus alim dan pakar dalam bidangnya, (2) Mendukung dan komitmen terhadap sunnah dalam pemikiran dan perkataannya, artinya bukan ahli bidah, (3) Ilmunya mengungguli pakar yang lain pada zamannya.
Karena itu, dalam kriteria ini, seseorang tidak layak dikatakan sebagai mujaddid jika pemikiran dan perilakunya justru bertentangan dengan ajaran Islam. Di eramodern, misalnya, banyak muncul pemikir yang mencoba mencocok-cocokkan atau bahkan mengubah ajaran Islam, agar sesuai dengan nilai-nilai Barat. Salah satu tokoh terkenal, misalnya, Qasim Amin, yang gencar menyerukan modernisasi syariat Islam.
Qasim Amin, melalui bukunya, Tahrirul Marah, menginginkan wanita muslimah melepaskan diri dari tradisi-tradisi masal lalu, dan berpindah untuk mencontoh wanita Barat. Walaupun ia tidak menguasai ilmu agama dengan baik, tetapi ia rajin membicarakan masalah wanita, hijab, talak, poligami, pengajaran dan pekerjaan wanita. Untuk itu, ia menempuh jalan sederhana dan menggunakan dua prinsip yang diagungkan oleh kaum modernis.
Pertama, bahwa syariah Islam adalah masalah yang tidak tetap, tetapi selalu berubah sesuai dengan situasi dan kondisi zaman. Kedua, tidak semua perkataan Nabi merupakan bagian dari agama. Maka harus dipisahkan antara ucapan yang biasa, nasehat-nasehat, moral dan filsafat-filsafat hidup yang tidak merupakan kuwajiban agama. Maka harus disingkirkan hal-hal yang tidak berhubungan dengan tasyri.
Berdasarkan dua prinsip tersebut ia menyerukan kepada wanita muslimah untuk menanggalkan hijab, sebab hijab bagi wanita dianggapnya sebagai sebab kemunduran bangsa Timur. Menanggalkan hijab, kata Amin, merupakan rahasia kemajuan Barat. Ia juga menganjurkan pergaulan laki-laki dan perempuan ala Barat.
Modernisasi semacam ini telah terlepas dari konteks tajdid dalam Islam dan hanya merupakan taghrib (westernisasi) semata, bahkan bisa dikatakan tahrif (penyelewengan) terhadap ajaran Islam itu sendiri. Apa yang dilakukan orang seperti Qasim Amin, bisa dikatakan sebagai upaya menghapus ajaran Islam dan menggantikannya dengan ajaran Barat yang sekuler. Padahal, kaum muslimah terbuktibisa maju dalam berbagai aspek kehidupan, tanpa harus meninggalkan jilbab.
Pelopor modernisme lain adalah Syed Ahmad Khan (1817-1898 M). Senada dengan Qasim Amin, Akhmad Khan juga berusaha merelevansikan ajaran Islam dengan pengetahuan modern, dengan cara membuat penafsiran ulang atas berbagai ajaran agama.
Ahmad Khan menulis "Tafsir al-Quran" yang tidak menolak paham ad-dahriyun (paham keabadian alam). Jamaludin .al-Afghani mengkritiknya dengan menerbitkan buku yang berjudul al-Raddu ala al-Dahriyin. Menurut Abu al-Hasan al-Nadwi, seorang ulama besar India, pola pemikiran semacam ini hanya berpijak atas dasar taklid kepada peradaban Barat dan prinsip-prinsipnya yang materialistis, dan berusaha menafsirkan Alquran sesuai dengan peradaban Barat, serta menolak segala sesuatu yang tidak dapat dibuktikan oleh indra dan pengalaman impiris.
Sebenarnya mengadopsi sains dan teknologi dari manapun dibolehkan dalam Islam termasuk dari Barat. Sebab, dalam Islam tidak terdapat dikotomi antara ibnu umum dan ilmu agama. Tetapi, yang boleh diambil bukan filsafatnya yang materialistis dan pola pikir yang sekuler. Sebab, itu jelas-jelas bertentangan dengan akidah Islam.
Sedangkan usahanya dalam modernisasi kurikulum pendidikan yang memadukan antara ilmu umum dan agama di Alligarh Muslim University masih termasuk dalam konteks tajdid. Namun kurikulum disana belum menjamah masalah Islamisasi Ilmu Pengetahuan.
Jadi, umat Islam perlu berhati-hati dengan makna tajdid dalam Islam dan jangan dikelirukan dengan taghrib. Sebab, taghrib atau pemikiran dan sikap kebarat-baratan, hanyalah satu bentuk penyakit mental rendah diri, yang kemudian merusak Islam, demi pujian manusia-manusia yang menolak campur tangan Tuhan dalam kehidupan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar