Salah satu aspek yang tidak kalah pentingnya untuk dikaji menyangkut gerakan Muhammadiyah adalah persoalan konsistensi dalam gerakan Muhammadiyah, yang dalam konsep Islam disebut dengan lafazh istiqomah. Justru selama ini karena keistiqomahan itulah Muhammadiyah dapat diterima oleh banyak umat dan menjadi lestari dan survive dalam masa yang cukup panjang. Bahkan tidak hanya survive tetapi terus berkembang pesat dalam membangun umat dan membina bangsa. Dan ketika konsistensi atau keistiqomahan mulai luntur atau mengalami kegamangan dalam dasawarsa terakhir, kita dapati kegodal-gadulan (istilah Pak AR) Muhammadiyah ,keguncangan dan kegamangan ideologis, bahkan menyentuh sendi-sendi gerakan Muhammadiyah, Keistiqomahan Muhammadiyah sebagai gerakan Tajdid fil Islam, mencakup beberapa hal, (1) gerakan pemurnian pemahaman, penghayatan dan pengamalan ajaran Islam, yang berdasar kepada al-Qur'an dan al-Sunnah serta pemahaman salaf al shalih, (2) modernisasi dan pembaharuan bidang manajemen dan gerakan keumatan dengan tetap berlandaskan orisinalitas ajaran Islam, mestinya tetap tegak dan tegar ditubuh Muhammadiyah, dengan dipelopori oleh elite kepemimpinannya. Bukan malah istiqomah dalam ketidakistiqomahannya.
Istiqomah dalam bidang diniyah ini meniscayakan Muhammadiyah untuk membentengi diri dari unsur-unsur yang mengotori pemahaman, pemikiran, penghayatan dan pengamalan agama, baik yang bernuansakan TBC (takhayyul, bid'ah, dan khurafat klasik), maupun TBC modern seperti paham Islam liberal sekular, yang mencoba mengadopsi berbagai metodologi, pemikiran yang datang dari luar Islam tanpa kritik, yang implikasi berikutnya berbentuk berbagai penyimpangan dan penyakit sosial; seperti korupsi, manipulasi, kolusi dan nepotisme, yang melanda negeri ini, termasuk dalam tubuh Muhammadiyah.
Sekiranya keistiqomahan ini tetap terjaga di Muhammadiyah, sudah semestinya tidak perlu gamang menghadapi kritik tentang kebekuan dan kajumudan pemikiran Muhammadiyah. Karena kritik itu banyak dilontarkan oleh kaum pragmatis liberal dan sekular, meskipun ada juga sedikit kritik yang positif dan konstruktif. Namun, kalau disimak lebih mendalam, sebenarnya terlalu banyak kritik vang justru ingin mengobrak abrik tatanan Muhammadiyah bahkan Islam, tanpa memperhatikan apakah hal itu termasuk bidang al-tsawabit (hal-hal baku dalam agama) atau bidang al-mutaghayyirat (hal-hal yang memungkinkan terjadinya perubahan).
Prinsip Muhammadiyah sebagai gerakan pemurnian pemahaman, pemikiran, penghayatan dan pengamalan ajaran Islam merupakan prinsip yang baku yang harus dipegang teguh Muhammadiyah ingin diobrak-abrik, dengan pamahaman liberalisme sekular dengan menawarkan teori relativisme. Paham ini mengandaikan bahwa tidak mungkin seseorang mencapai kebenaran yang hakiki dalam beragama, dan dengan itu tidak mungkin pula seseorang dapat mencapai kepada orisinalitas dan otentitas ajaran Islam. Oleh karena itu, menurut paham ini, Muhammadiyah tidak perlu mempertahankan prinsip purifikasinya, melainkan harus menggantinya dengan paham pluralisme, multikulturalisme dan liberalisme sekular. Pengaruh paham pluralisme, multikulturalisme dan liberalisme-sekular yang sedikit demi sedikit menggusur komitmen pemurnian ajaran Islam ini telah membuat Muhammadiyah lengah, lalai dan pongah terhadap nilai-nilai aqidah, ibadah, muamalah dan akhlak Islam. Sebagai contoh konkret dari kelalaian itu adalah mudahnya Muhammadiyah mengundang foundation asing (non Islam) sebagai donotur untuk berbagai kegiatannya, bahkan dalam kegiatan yang sangat prinsip, seperti pendidikan (seperti civic education dengan the Asia foundation), pengembangan manhaj dakwah dan tarjih (kasus dakwah kultural dan beberapa halaqah tarjih dengan the ford foundation) dan kajian fiqh Islam (kasus fiqh perempuan dengan the asia foundation). LSM-LSM tersebut selama ini terbukti menyebarluaskan virus yang merusak aqidah Islam. Kita harus pegang teguh pernyataan Umar bin Khattab.”Min aina laka hadza?”. Dari mana uang atau harta yang kau dapatkan ini?.
Akhirnya hasil kajian-kajian tersebut mengarah kepada penggugatan dan penggusuran prinsip pemurnian dan kemurnian ajaran Islam, dengan diakomodasinya kembali paham TBC klasik dengan dalih perluasan mitra dakwah, ngombyongi masyarakat, pengembangan sikap empati terhadap kelompok lain, serta masuknya secara hegemonik paham pluralisme, multikulturalisme dan liberalisme-sekular. Tapi kita harus ingat bahwa KH. Ahmad Dahlan hadir untuk mengadakan purifikasi dalam berbagai aspek dan berusaha mengintervensi serta menghilangkan kultur beragama yang sesat, memberantas TBC dengan hikmah, mau’izah hasanah dan mujadalah, bukan dengan cara yang sinis dan mencaci maki.
Keagamaan atas kritik pemikiran Islam Muhammadiyah juga melanda cara pikir Majelis Tarjih terutama setelah ditambah dengan Pengembangan Pemikiran Islam. Yang terjadi tidak menyemangati pemikiran Islam dalam rangka memandu umat justru sebaliknva menimbulkan kontroversi, karena memisahkan antara pemikiran dengan penghayatan dan pengamalan, memisahkan antara wacana dan fatwa. Padahal semestinya, kesemuanya itu adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan, dengan landasan sumber ajaran Islam yang otentik, dengan tetap memahami realitas umat untuk didekati dan dibawa menuju otentitas dan orisinalitas Islam ideal. Kontroversi itu muncul dari produk wacana pemikiran yang ditawarkan sepetrti Tafsir Tematik Hubungan Antar Agama, yang kental dengan paham pluralisme, juga lontaran personil pimpinan majelis Tarjih yang mengatakan jilbab tidak wajib dan aurat perlu didefinisi ulang, dan seterusnya. Kontroversi ini jelas, secara akademik tidak memiliki manfaat signifikan, dan dari sudut keagamaan justru mengarah kepada pendangkalan aqidah dan pengaburan syari'at. Dan kita harus ingat bahwa KH. Ahmad Dahlan dalam sejarah belum pernah berteman dengan pendeta dan pastor, kalau toh ada pertemuan adalah untuk berdebat bukan berkawan.
Berkali-kali, Muhammadiyah menegaskan dirinya sebagai organisasi dakwah, yang bergerak dalam bidang sosial pendidikan dan kesejahteraan sosial serta sebagai organisasi kemasyarakatan yang tidak berafiliasi kepada partai politik tertentu, tidak merupakan kendaraan untuk meraih kekuasaan, dan seterusnya. Namun, karena goyahnya keistiqomahan kepemimpinan Muhammadiyah, berulangkali juga, Muhammadiyah terjebak dalam arus politik kekuasaan, yang seringkali menanggalkan khittahnya sebagai gerakan dakwah Islam. Kalau Muhammadiyah konsisten dan istiqomah dengan Khittah dan Kepribadiannya, tidak akan tergiur untuk terseret dan menyeret diri dalam syahwat politik praktis dan politik kekuasaan. Gerakan politik Muhammadiyah adalah politik untuk dakwah, sehingga Muhammadiyah memang harus aktif dan proaktif memberikan kontribusi pemikiran strategis-islami bagi pengembangan dan pembangunan bangsa, tanpa harus terjebak pada politik kekuasaan. Namun, karena syahwat politik beberapa oknum dalam kepemimpinan elite Muhammadiyah, baik pusat daerah maupun cabang, akhirnya terjadi konflik internal Muhammadiyah, karena perbedaan aspirasi politik, dan parahnya adalah menjadikan Muhammadiyah sebagai kendaraan atau batu loncatan untuk meraih kedudukan politik sementara orang atau aktif di Muhammadiyah hanya sebagai sarana untuk mendapat dukungan politik tapi setelah jadi tidak mau tahu tentang Muhammadiyah. Yang lebih parah lagi adalah campur tangannya organisasi lain yang masuk ditubuh Muhammadiyah dengan cara memasukkan kader-kadernya atau merekrut kader dengan cara menyelenggarakan kajian-kajian dengan mengundang tokoh-tokoh atau pimpinan Muhammadiyah (yang memang tidak melek politik dan mudah dikibulin) dengan tujuan mencari dukungan bagi kepentingan politiknya, Muhammadiyah hanya digunakan sebagai lahan untuk meraih suara, yang ujung-ujungnya para banyak pimpinan dan aktifis itu kemudian tidak lagi istiqomah dalam bermuhammadiyah mereka lebih semangat menghadiri kajian-kajian itu tapi khianat terhadap Amanahnya sebagai pimpinan atau pengurus Muhammadiyah dengan menterlantarkan Organisasinya. Yang kemudian diperparah lagi dengan tidak PD – nya para aktifis dan Pengurus Muhammadiyah dengan Muhammadiyah akibat dari tidak mengenalnya mereka terhadap Organisasinya sehingga memandang organisasi lain lebih baik. Comeback-nya, beberapa aktivis politik (baca: partai politik) Muhammadiyah ke rumah besar Muhammadiyah perlu diwaspadai dan diuji apakah mereka benar-benar comeback jihad fi sabilillah, ataukah untuk meraih kedudukan politik yang lebih tinggi atau mencari dukungan politik, karena Muhammadiyah dipandang sebagai kekuatan sosial kemasyarakatan yang memiliki kekuatan politik yang signifikan.
Ala kulli haj, pemimpin Muhammadiyah harus Amanah dan istiqomah dalam dakwah, istiqomah menggarap pendidikan Islami, dan istiqomah membina umat dengan berbagai bentuk pengajian dan kajian Islam dalam berbagai aspek kehidupan serta Istiqomah dalam ber Muhammadiyah. Sebagai gerakan Dakwah Islam Yang memiliki komitmen untuk pemurnian dan menjaga kemurnian ajaran Islam, Muhammadiyah memahami bahwa kebudayaan adaIah pemikiran, karya dan penghayatan hidup yang merupakan refleksi umat Islam atas ajaran agamanya. yang bersumber pada otentisitas ajaran Islam. Dengan pandangan itu, Muhammadiyah memandang. bahwa adanya pluralitas budaya (multikulturalitas) adalah sesuatu kenyataan yang mesti diterima. Namun, tidak berimplikasi kepada paham pluralisme dan multikulturalisme, yang memandang semua agama dan semua budaya manusia adalah benar dan baik bagi umat manusia, sebagaimana statemen al-Qur'an memandang bahwa dalam pluralitas budaya atau multikulturalitas terdapat kategori budaya ma'rufat (segala budaya yang baik, yang sesuai dengan nilai-nilai Islam) dan budaya munkarat (segala sesuatu yang jelek, batil dan jahat bagi kehidupan manusia dan tidak sesuai dengan syariat Islam. Derasnya paham multikulturalisme dan pluralisme di dalam tubuh Muhammadiyah ditandai dengan kritik tajam yang dilontarkan oleh kalangan internal Muhammadiyah atas konsep pemurnian agama (purifikasi). Bahkan kritik itu telah berubah menjadi hujatan bahwa gerakan purifikasi dalam Muhammadiyah telah menggusur potensi kultur lokal, tanpa memahami persoalan dan konteks budaya lokal tersebut jika dikaitkan dengan aqidah, akhlak dan muamalah Islam. Akibat lanjut dari kegamangan atau kegodal-gadulan adalah kecenderungan warga dan pimpinan Muhammadiyah yang permisif terhadap berbagai budaya lokal dan global, tanpa memperdulikan aspek-aspek munkarat yang terjadi. Melihat kondisi terakhir Muhammadiyah yang gamang, godal-gadul dalam menghadapi perkembangan masyarakat, bahkan terkooptasi oleh hegemoniknya pemikiran Islam liberal-sekular yang sempat memporakporandakan bangunan organisasi dan gerakan dakwahnya, Muhammadiyah memerlukan kepemimpinan yang kompak (barakah jama'i) dan konsisten (istiqomah) terhadap nilai-nilai dasar Islam. Dengan jalan itulah, Muhammadiyah akan lebih memiliki daya tarik dalam membina umat dan memberi arah kepada setiap perubahan dan perkembangan masyarakat. Sementara dengan kegamangan seperti saat ini banyak warga Muhammadiyah eksoduse, dan lebih dari itu Muhammadiyah jadi bahan pergunjingan yang melelahkan. Akhirnya, semoga Muhammadiyah tetap Amanah dan istiqomah dalam gerakannya, kokohkan khittah pemurnian, dakwah dan tajdid, bersihkan TBC dan liberalisme-sekular. Innallaha ma'ana. Nasrun Minallah wa-fathun qariib.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar