Kamis, 29 April 2010

Tiang Jembatan Negeri Impian Tergerogoti

Versi Indonesia

Saat ini awan putih terlihat di birunya langit. Biru, warna yang menggambarkan keagungan, kedamaian, keceriaan, dan kesemestaan. Namun biru juga dapat diartikan dengan kepiluan hati, kesedihan dan tanpa harapan. Negara ini dipenuhi dengan kebiruan. Biru akan langit tropisnya, biru akan lautnya, biru akan bangsanya. Perasaan inilah yang saya bayangkan di Kauman, suatu wilayah di Yoyakarta yang merupakan kampung lahirnya Muhammadiyah. Hati ini membiru ketika kubayangkan bagaimana nasib Indonesia ketika saya tua nanti.



Sesaat perhatikan masyarakat Indonesia ini, sangatlah unik. Bangsa yang terkenal sangat ramah dan terbuka ini mengandung dilema. Keramahan terpecahkan oleh amarah dan pertikaian di berbagai daerah. Nilai moral dan kesopanan ternodai dengan fashion dan budaya hedonis. Kekayaan budaya dan alam yang kita miliki terasa dimiliki oleh bangsa lain. Kemiskinan semakin semarak, becana terus melanda, harga diri bangsa mengambang. Bangsa Indonesia ibarat ikan remora yang berada diketiak ikan hiu, yang selalu menunggu makanan sisa dari hiu-hiu lain. Inilah yang menunjukkan bahwa budaya kepemimpinan bangsa kita sangat lemah.

Sempatkah kita menilik suatu elemen kepemimpinan paling sederhana? Manusia diciptakan tentunya untuk menjadi seorang pemimpin, yang paling sederhana adalah memimpin diri sendiri. Pemimpin adalah orang mau memimpin dan mau dipimpin. Realitanya, para generasi penerus oraganisasi sosial ini mengalami krisis kepemimpinan. Seseorang yang sedang menentukan tindakannya, dapat diklasifikasikan menjadi 4 golongan, pertama orang yang mampu dan mau, kedua orang yang mampu tapi tidak mau, orang yang tidak mampu tapi mau, dan orang yang tidak mampu dan tidak mau. Di luar itu semua adalah orang yang tidak mau tahu. Itu semua adalah pilihan, kita yang diciptakan untuk menjadi pemimpin, tinggal mau pilih yang mana. Seperti kata pepatah, “hidup adalah pilihan”, lalu pilih yang mana? Mau mengambil sikap atau diam, mau memimpin atau dipimpin, mau berubah lebih baik atau pasrah.

Lihat para pemimpin bangsa ini. Apakah sikap yang mereka pilih sudah tepat sebagai seorang pemimpin? Di antara mereka ada yang mengabdi penuh untuk rakyat tanpa korupsi, namun lebih banyak di antara mereka yang memimpin dengan tujuan untuk mencukupi kebutuhan pribadi atau golongan, kurang peduli, bahkan sampai melakukan tindak korupsi. Penyakit inilah yang diturunkan oleh penjajah dari Negara Belanda kepada bangsa kita, tepatnya ketika bangkrutnya salah satu organisasi penjajah yang disebut VOC.

Kita tidak bisa menyalahkan sejarah masa lalu. Sayangnya, pendidikan korupsi ini, tanpa disadari sering diajarkan dan diamalkan kepada generasi penerus bangsa. Bukan dalam arti menggerogoti masalah keuangan saja, tetapi juga korupsi masalah waktu, kepercayaan, tugas sekolah (bagi para pelajar), dan korupsi tanggung jawab. Inilah yang sering kita temui dalam organisasi kehidupan, entah di keluarga, masyarakat, sekolah, dan instansi lapangan pekerjaan. Biasa dikatakan, “kalau biasanya kita melaksanakan program ini…” atau dengan kata lain, “dari tahun ke tahun biasanya seperti ini..”. Tentunya kita tahu perubahan akan selalu ada. Keputusan seolah menjadi sebuah kebiasaan tanpa ada alasan yang jelas. Kebiasaan yang terus menerus di lakukan akan menjadi budaya. Maka dari itulah jangan membenarkan sesuatu yang biasa, namun biasakanlah sesuatu yang benar.

Prioritas pertama dan utama dalam memimpin adalah tanggung jawab, baik tanggung jawab terhadap diri sendiri, amanah, orang lain, lingkungan, sampai tanggung jawab ke Tuhan Yang Maha Esa. Masalah wibawa, penampilan, kekuatan, strategi, itu semua penting, namun yang utama adalah tanggung jawab. Setiap pemimpin pun harus mempunyai prinsip yang kuat dan mengerti betul tentang paham yang dianutnya supaya dia mengerti arti bertanggungjawab.

Komitmen menjadi sangat penting dalam menjalankan paham dan memberi pengaruh pada orang lain. Negara ini menganut paham demokrasi. Memang idealisnya, suatu paham demokrasi berfungsi untuk meredam kesenjangan dan perbedaan diantara masyarakat yang berbeda-beda suku, agama, ras, dan karakternya. Realitanya perpecahan terjadi justru ditengah-tengah suatu komunitas itu sendiri. Seringkali mereka yang kukuh dengan pendapatnya sendiri, menyalahkan pemimpin mereka. Mereka berseteru karena pendapatnya ingin diakui, dihargai, dan terlihat sebagai “pemenang”. Namun ironisnya ketika para “pemenang” diberi kepercayaan untuk memimpin, mereka terlihat sebagai seorang pengecut. Bahkan, hanya melemparkan tanggung jawab ke orang lain.

Realitanya bangsa kita mengalami krisis kepemimpinan. Hal inilah yang menyebabkan perlunya kesadaran membentuk masyarakat madani. Yaitu masyarakat yang mampu menciptakan budaya partisipan untuk bekerja sama dengan pemimpinnya, peka terhadap kondisi, berjiwa social dan penuh kasih sayang. Kebanyakan orang berfikir mereka ditindas oleh pemerintah dengan semena-mena, namun tidak terasa mereka juga mendholimi pemerintah dengan segala cacian, pelanggaran, dan tindak anarki yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.

Zaman sekarang perlu diberikan wadah untuk pendidikan kepemimpinan. Menanamkan mental juara. Tidak harus menjadi juara yang namanya terkenal di mana-mana. Bermental juara adalah pandai menempatkan dan mempersiapkan diri untuk menjadi pemenang sejati. Pemimpin bukan hanya seorang pemerintah saja tetapi sebagai pelayan untuk kemahlasyatan bersama. Hal ini perlu ditanamkan pada pendidikan kepemimpinan melalui ormas-ormas, OSIS, atau instansi. Hendaknya pendidikan selalu diperhatikan dan ditingkatkan kualitasnya. Jangan sampai menjadikan OSIS sebagai pembantu wakil kepala sekolah (wakasek) urusan kesiswaan. Jangan sampai organisasi sosial diselewengkan untuk kepentingan bisnis atau politik. Jangan sampai pula pendidikan budaya korupsi tanpa kita sadari tersebar, hanya karena kebanyakan dari kita selalu “melihat perut kita” atau “melihat payudara kita”.
Mari kita menilik nilai-nilai kepemimpinan dari kisah Ramayana, yang diperankan oleh Dasaratha, ayah dari Rama, seorang pemimpin kerajaan Ayodya yang bijaksana dan membuat rakyatnya sejahtera.

Dia merupakan pemimpin yang “Pracasta ring rat musuhing pranata” yang berarti bahwa pemimpin harus memiliki wibawa dan kekuatan sehingga musuh tidak ada yang berani merebut wilayah. “Jaya pandita raing aji kabeh” yaitu pemimpin yang memiliki ilmu pemerintahan secara menyeluruh dan bisa dikatakan cerdas.
“Masih ta sireng swagatra kabeh” yaitu seorang pemimpin yang harus mencintai dan menyayangi rakyatnya. Selalu memikirkan keadaan rakyatnya. “Prawira wihikan sireng niti” yaitu seorang pemimpin yang pandai dalam bermain politik, bukan berarti kecurangan, tetapi menangkal kekuasaan pihak lain yang merugikan.
“Priya hita sijar niriticaya” yaitu seorang pemimpin yang kata-katanya dapat dipegang, mengandung kebaikan dan sangat adil dalam memutuskan. “Parirtha gumawe sukanikang bhuwana” yaitu pemimpin yang akan senantiasa mengutamakan kepentingan rakyatnya dan mengesampingkan kepentingan pribadi atau golongan sehingga membuat suasana lingkungan senang.

“Ikanang pratapa dumilah” yaitu kewibawaan yang menyala, yang berpengaruh terhadap para lawannya. “Sukanikang rat ya teka ginawenya” yaitu seorang pemimpin yang memprioritaskan bagaimana cara menyejahterakan rakyatnya. Pemimpin juga harus mempunyai karakter dan nama yang kuat agar kinerja pada tiap bidangnya tidak diremehkan.
Belajarlah dari air. Air merupakan zat netral tanpa muatan positif ataupun negatif. Air merupakan zat utama di bumi yang berfungsi sebagai pelarut. Air merupakan zat yang selalu menyesuaikan dengan wadahnya. Sikap-sikap inilah yang perlu dicontoh oleh pemimpin sejati. Ketika ada suatu problematika, ketika kepenatan dalam berorganisasi datang, ketika tujuan bersama menyimpang, ingatlah sifat-sifat air. Sosok pemimpin yang harus jadi pengatur, pengayom, peredam suasana, jangan sampai memperkeruh suasana karena seharusnya dialah yang menjernihkan suasana.

Masing-masing pribadi adalah bagian dari bangsa ini. Kita semua bagaikan sebuah batang kayu yang menyusun sebuah jembatan panjang. Jembatan yang menguhubungkan kita ke dalam negeri impian, yang di dalamnya terdapat kesejahteraan. Jika salah satu dari kita rapuh maka kita sendiri yang akan merapuhkan bangsa ini. Kita semua yang menjadi tiang-tiang penopang bangsa ini. Jika kita rapuh maka tugas para pemimpin bangsa sebagai tiang utama yang harus menopang Indonesia ini. Dengan semangat patriotisme dan nasionalisme, tetaplah dalam titah walaupun tertatih-tatih, untuk gemilangnya Indonesiaku, Indonesiamu, Indonesia kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar